Senin, 21 Juli 2008

BANG KODIR

Urbanisasi ke Surabaya adalah salah satu pilihan, selain sekian banyak pilihan ke kota2 lain di Jawa, luar jawa, bahkan ke luar negeri (menjadi TKI maupun TKW). Inti masalah urbanisasi adalah ketidakmampuan desa/daerah menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan menarik. Hal ini juga didukung fakta, bahwa industri menengah-besar hampir semuanya menumpuk di kota. Namun apa yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Pasuruan melalui program BANG KODIR (Bangil Kota Bordir) menjadi sangat menarik untuk dipelajari.

Di Bangil telah ada sentra kerajinan bordir. Secara teratur dan terencana, para UKM di sentra tersebut di dorong untuk terus menerus meningkatkan kualitas produknya, agar mampu bersaing dengan produk bordir dari daerah lain, seperti Malang dan Tasikmalaya. Melalui program Bang Kodir, upaya promosi baik di dalam negeri maupun luar negeri terus digalakkan. Jadi tidak heran bila saat ini produk bordir Bangil telah merambah ke hampir semua wilayah, bahkan sampai ke Malaysia, Brunei, dan Timur Tengah. Untuk lebih mendekati pasar, Pemerintah Kabupaten Pasuruan telah memfasilitasi semacam ”Rumah BORDIR” di Batam, agar para pengrajin bordir di Bangil bisa lebih dekat lagi dengan target pasar di Sumatra dan Malaysia.

Keberadaan sentra Bordir di Bangil tersebut sangat jelas telah menciptakaan lapangan pekerjaan bagi para banyak orang, sekaligus menjadikan orang tidak perlu berbondong-bondong mencari kerja ke Surabaya. Dari Bangil, mereka mampu mengendalikan bisnis bordirnya di kota-kota besar, bahkan sampai ke luar negeri.

INOVASI, TEKNOLOGI, MODAL, DAN INFORMASI


Praktis selama ini wilayah di Jawa Timur bagian selatan adalah penyumbang terbesar urbanisasi. Dari sisi sumberdaya alam, masih sangat banyak yang bisa digarap dan dikembangkan di wilayah tersebut. Namun rendahnya kualitas SDM dan terbatasnya investasi yang masuk di wilayah tersebut menjadi kendala besar. Hal tersebut ditambah dengan ketergantungan pemerintah kabupaten/kota di wilayah selatan tersebut terhadap bantuan pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Rata-rata PAD mereka kecil, dan tidak cukup untuk men-drive laju pembangunan.

Lambatnya pembangunan jalur selatan Jawa Timur, telah menjadikan wilayah tersebut semakin tertatih-tatih untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah lainnya. Apa yang bisa dilakukan?

  1. Dorong tumbuhnya inovasi lokal untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia melimpah. Ketiadaan inovasi, menjadi sumber utama stagnasi gerak ekonomi pedesaan.
  2. Buka akses teknologi terapan dan tepat guna yang seluas-luasnya. Masyarakat perlu didorong untuk menghasilkan produk yang berkualitas, dengan menggunakan teknologi sederhana, murah, dan ramah lingkungan.
  3. Permudah akses ke permodalan. Upaya mendorong Bank dan lembaga keuangan alternatif agar mau membiaya industri di pedesaan harus terus menerus dilakukan. Terobosan Pemerintah Propinsi Jawa Timur melalui penyediaan kredit lunak berbunga 6% perlu ditingkatkan dan dilakukan dengan lebih transparan.
  4. Tersedianya Pusat Informasi Usaha menjadi sangat mutlak. Di desa-desa yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal perlu tersedia pusat informasi usaha yang mudah diakses oleh siapapun, termasuk mereka yang akan memulai usaha. Pusat Informasi Usaha tersebut harus menyediakan informasi aktual dan terkini tentang: pasar; bahan baku, SDM, teknologi, dan modal. Pusat Informasi Usaha tersebut haruslah bersifat spesifik, sesuai dengan produk unggulan di desa tersebut.
Bila daerah mampu mengoptimalkan potensi yang ada, dan memberikan daya dukung yang memadai, maka urbanisasi bukanlah hal yang harus ditakuti. Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota di Jawa Timur menjadi sebuah kebutuhan mutlak. Egoisme dan sifat mau menang sendiri dengan menutup daerahnya, bukanlah pilihan solusi yang baik.

Tidak ada komentar: