Minggu, 20 Juli 2008

Sebuah Warisan dari Masa Silam

Perajin bordir tersebar di beberapa desa.

Deru mesin jahit dan mesin bordir saling berkejaran di sebuah gedung milik Nizar Bordir di Jalan Kembangan, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Suara bising yang terdengar sejak pagi hingga petang itu diselingi celoteh dan derai tawa ratusan orang di balik mesin. Satu per satu mukena, baju muslim, tas, dan beragam jenis pakaian lain berhias bordir siap dikemas dan dikirim ke pelosok Nusantara.

Nizar Bordir merupakan salah satu di antara ratusan perajin bordir yang hidup dan berkembang di Bangil. Ratusan perajin itu tersebar di beberapa desa, seperti Kersian, Singopolo, Kauman, Ledok, Manaruwi, dan Kalirejo. Tapi perajin bordir paling banyak hidup di Desa Kalirejo, terutama di Jalan Bader.

Kota Bangil memang dikenal sebagai kota bordir sejak dulu. "Warga di sini mengenal bordir sejak zaman penjajahan Belanda," kata Faiz Zunianti, pemilik Faiza Bordir di Kalirejo. Selain bordir, penduduk kota ini dikenal sebagai perajin hiasan emas dan perak. Pemilik Nizar Bordir, Mohammad Syafiq Assegaf, pada mulanya seorang perajin perak, yang kemudian beralih menjadi perajin bordir sejak 1990.

Kerajinan bordir di daerah ini berlangsung secara turun-temurun. Sebagian perajin yang ada saat ini merupakan generasi ketiga dan keempat. Seiring dengan perkembangan waktu, kreasi para perajin masa kini selalu beradaptasi dengan zaman. "Kami juga harus mengikuti selera pelanggan," kata Faiz. Tidak mengherankan jika motif bordir yang berkembang melintasi batas wilayah.

Untuk mengimbangi selera pelanggan, para perajin selalu mengikuti perkembangan mode melalui majalah terbitan dalam negeri dan luar negeri. Hasilnya bukan saja menarik, tapi juga memberikan nuansa baru. Faiz Bordir, misalnya, kerap memproduksi bordir bermotif batik atau motif kain sari. Sepintas bordiran ini mirip batik asli. "Tapi, kalau Anda raba, baru ketahuan kalau ini hasil bordiran," katanya. Belakangan, Faiz mengembangkan bordir motif etnik.

Untuk menghasilkan bordiran itu, para perajin biasanya menggunakan tangan dan mesin jahit manual. Namun, sebagian perajin mulai memanfaatkan komputer untuk membuat desain bordiran. Hasil desain komputer inilah yang dibordir dengan mesin atau tangan. "Kadang kami juga melakukan kombinasi tangan, mesin, dan komputer sekaligus," kata Syafiq, yang memiliki 150 pekerja.

Selain motif yang beragam, perajin bordir Bangil menyediakan bahan baku yang bisa dipilih pelanggan. Dari yang kelas kain katun sampai kain tenun. Warna yang bisa dipilih mencapai 200 jenis. Khusus untuk bahan pewarna, Syafiq selalu memesan ke pabrik pembuatnya. Perbedaan bahan, motif, dan kerumitan bordir inilah yang membuat harga berbeda. Nizar Bordir mematok harga rata-rata Rp 100-500 ribu per potong mukena. "Semakin rumit bordirannya, semakin mahal harganya," kata dia.

Berbekal keterampilan dan kemampuan beradaptasi dengan zaman, para perajin bordir Bangil tak khawatir dengan masuknya kerajinan sejenis dari wilayah lain. Apalagi Bangil akan menancapkan diri sebagai sentra bordir di Indonesia dengan berdirinya Sentra Bordir Bangil di sebelah barat Stadion Pogar, Bangil. Di sentra inilah nantinya setiap perajin memiliki gerai atau butik bordir

Tidak ada komentar: