Senin, 21 Juli 2008

BANG KODIR

Urbanisasi ke Surabaya adalah salah satu pilihan, selain sekian banyak pilihan ke kota2 lain di Jawa, luar jawa, bahkan ke luar negeri (menjadi TKI maupun TKW). Inti masalah urbanisasi adalah ketidakmampuan desa/daerah menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan menarik. Hal ini juga didukung fakta, bahwa industri menengah-besar hampir semuanya menumpuk di kota. Namun apa yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Pasuruan melalui program BANG KODIR (Bangil Kota Bordir) menjadi sangat menarik untuk dipelajari.

Di Bangil telah ada sentra kerajinan bordir. Secara teratur dan terencana, para UKM di sentra tersebut di dorong untuk terus menerus meningkatkan kualitas produknya, agar mampu bersaing dengan produk bordir dari daerah lain, seperti Malang dan Tasikmalaya. Melalui program Bang Kodir, upaya promosi baik di dalam negeri maupun luar negeri terus digalakkan. Jadi tidak heran bila saat ini produk bordir Bangil telah merambah ke hampir semua wilayah, bahkan sampai ke Malaysia, Brunei, dan Timur Tengah. Untuk lebih mendekati pasar, Pemerintah Kabupaten Pasuruan telah memfasilitasi semacam ”Rumah BORDIR” di Batam, agar para pengrajin bordir di Bangil bisa lebih dekat lagi dengan target pasar di Sumatra dan Malaysia.

Keberadaan sentra Bordir di Bangil tersebut sangat jelas telah menciptakaan lapangan pekerjaan bagi para banyak orang, sekaligus menjadikan orang tidak perlu berbondong-bondong mencari kerja ke Surabaya. Dari Bangil, mereka mampu mengendalikan bisnis bordirnya di kota-kota besar, bahkan sampai ke luar negeri.

INOVASI, TEKNOLOGI, MODAL, DAN INFORMASI


Praktis selama ini wilayah di Jawa Timur bagian selatan adalah penyumbang terbesar urbanisasi. Dari sisi sumberdaya alam, masih sangat banyak yang bisa digarap dan dikembangkan di wilayah tersebut. Namun rendahnya kualitas SDM dan terbatasnya investasi yang masuk di wilayah tersebut menjadi kendala besar. Hal tersebut ditambah dengan ketergantungan pemerintah kabupaten/kota di wilayah selatan tersebut terhadap bantuan pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Rata-rata PAD mereka kecil, dan tidak cukup untuk men-drive laju pembangunan.

Lambatnya pembangunan jalur selatan Jawa Timur, telah menjadikan wilayah tersebut semakin tertatih-tatih untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah lainnya. Apa yang bisa dilakukan?

  1. Dorong tumbuhnya inovasi lokal untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia melimpah. Ketiadaan inovasi, menjadi sumber utama stagnasi gerak ekonomi pedesaan.
  2. Buka akses teknologi terapan dan tepat guna yang seluas-luasnya. Masyarakat perlu didorong untuk menghasilkan produk yang berkualitas, dengan menggunakan teknologi sederhana, murah, dan ramah lingkungan.
  3. Permudah akses ke permodalan. Upaya mendorong Bank dan lembaga keuangan alternatif agar mau membiaya industri di pedesaan harus terus menerus dilakukan. Terobosan Pemerintah Propinsi Jawa Timur melalui penyediaan kredit lunak berbunga 6% perlu ditingkatkan dan dilakukan dengan lebih transparan.
  4. Tersedianya Pusat Informasi Usaha menjadi sangat mutlak. Di desa-desa yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal perlu tersedia pusat informasi usaha yang mudah diakses oleh siapapun, termasuk mereka yang akan memulai usaha. Pusat Informasi Usaha tersebut harus menyediakan informasi aktual dan terkini tentang: pasar; bahan baku, SDM, teknologi, dan modal. Pusat Informasi Usaha tersebut haruslah bersifat spesifik, sesuai dengan produk unggulan di desa tersebut.
Bila daerah mampu mengoptimalkan potensi yang ada, dan memberikan daya dukung yang memadai, maka urbanisasi bukanlah hal yang harus ditakuti. Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota di Jawa Timur menjadi sebuah kebutuhan mutlak. Egoisme dan sifat mau menang sendiri dengan menutup daerahnya, bukanlah pilihan solusi yang baik.

Minggu, 20 Juli 2008

Bordir Yoenarti, Jadi Langganan Kerajaan Kelantan

Ibu dua anak warga Pasuruan ini mulanya tak mengenal dunia bordir. Tapi justru lewat bordir akhirnya ia bisa mewujudkan impiannnya dan menjadi sahabat keluarga kerajaan.

Berawal dari rasa prihatinnya melihat banyak warga Pasuruan dan Bangil, Jawa Timur yang hidup susah, Yoenarti (49) menghidupkan kerajinan tangan bordir yang memang sudah diakrabi warga desa. "Pikiran saya waktu itu, yang penting membuka lapangan kerja buat mereka," kata pemilik Norrisa Miliarta ini.

PESAN RIBUAN SAJADAH
Usaha kerasnya mulai menuai hasil. Tak hanya busana, ia pun mulai membordir seprai, taplak meja, tempat galon air minum, tutup tisu, dan masih banyak lagi. Yoenarti kemudian ditawari ikut pameran di Dahran, Arab Saudi. "Meski saya sempat ragu, ternyata jualannya laris-manis. Yoenarti diajak lagi pameran ke Malaysia. "Lagi-lagi sukses. Setelah itu, saya membeli beberapa mesin jahit dan menambah karyawan."

Tahun 2004, saat ikut pameran di JCC, Jakarta, salah satu pembeli asal Malaysia, Rosila yang merupakan keluarga Tengku Anis binti binti Tengku Abdul Hamid, Raja Perempuan Kelantan, memborong produk Yoeniarti.

Usai pameran dan kembali ke Pasuruan, Yoeniarti mendapat telepon dari Rosila. "Katanya, Raja Perempuan sangat suka karya saya. Ia pesan lagi ratusan bordir taplak meja senilai Rp 240 juta." Dengan membawa 6 kardus barang pesanan permaisuri, Yoenarti terbang ke Kelantan dan bertemu Raja Perempuan. "Dia sangat baik. Sejak itu, sampai sekarang, hubungan kami berjalan sangat baik."

Pendek kata, keluarga Kerajaan Kelantan menjadi pelanggan tetap Yoeniarti. Pesanannya pun tak tanggung-tanggung. Raja Perempuan pernah memesan 3.000 helai sajadah bordir, lengkap dengan mukena, senilai Rp 480 juta. "Katanya untuk dibagikan ke karyawan, tamu, dan kerabat kerajaan."

IMPIAN TERWUJUD
Kendati sudah punya banyak langganan "kelas kakap", Yoenarti tetap memproduksi untuk kebutuhan lokal. Soal harga, tergantung dari kerumitan dan jenis benang bahan bordiran. "Mulai dari Rp 25 ribu sampai ratusan ribu rupiah," jelas Yoenarti.

Kini Yoenarti dibantu 45 tukang bordir tetap. Saat menjelang Lebaran, ia melibatkan lebih banyak warga desa untuk ikut membordir. Impian Yoenarti untuk membuka lapangan kerja bagi warga desa pun terwujud sudah..

Gandhi Wasono M.

Bordir Bangil Merambah ke Mancanegara

BORDIR buatan Sidoarjo dan Bangil ternyata sudah merambah ke mancanegara. Produk yang umumnya dikirim ke sana dalam bentuk rok, blus maupun terusan dari beragam kain tersebut sangat diminati masyarakat manca.

Seperti yang dilakukan Faiz Yunianti dengan rumah bordirnya di desa Kalirejo Bangil. Upaya memperkenalkan hasil bordir dalam bentuk kebaya modern, busana muslim, pakaian ibadah haji maupun batik modern, tidak saja dilakukan di dalam negeri, tapi sudah merambah ke mancanegara.

Bahkan atase kebudayaan Indonesia di beberapa negara juga sudah beberapa kali mengundang Faiz untuk menggelar pameran sekaligus sebagai ajang promosi kerajinan bordir.

Di antaranya yang sudah terlaksana di Singapura, Malaysia dan Dubai. "Yang cukup menarik, atase kebudayaan kita di Malaysia mengharapkan untuk bisa membuka House of Indonesia. Saya diminta memamerkan produk saya mewakili garmen spesifik bordir khususnya busana muslim dan kebaya," kata Faiz saat ditemui di sela-sela melayani pembeli dari kalangan ibu-ibu.

Bicara tentang harga, ia menyebut beragam mulai dari Rp 25.000 sampai Rp 4 juta per potong. Sedang yang paling banyak laku produk yang dijual dengan harga mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta per potongnya. Apalagi memang pangsa pasar utamanya adalah kalangan atas. Meski produksi bordir untuk kelas menengah ke bawah juga mendapat tempat pula.

Faiz mengawali usahanya dengan dua pekerja di desa Kalirejo Bangil, Pasuruan. Kini terus pekerjanya bertambah menjadi ratusan pekerja. 75 di antaranya tenaga kerja tetap, dan 25 tambahan kalau ada pesanan besar.

Produksi tiap bulannya minimal 500 potong busana muslim dan kebaya halus yang banyak diminati kalangan menengah ke atas. Kalau menjelang lebaran bisa meningkat menjadi 5.000 potong.

Untuk mode produk bordir yang dijual, Faiz yang melibatkan tenaga kerja dari daerah sekitar Kalirejo Bangil mengaku ide yang muncul di benaknya dari beberapa sumber, antara lain hasil pengamatan di dunia mode maupun membaca-baca majalah. Namun tak menutup kemungkinan kalau ada konsumen yang membawa contoh sendiri. "Tapi yang utama adalah punya dorongan maju dan pandai mencermati mode yang sedang digemari dan laku.''

Dia mencontohkan, 1 - 2 bulan sebelum lebaran ataupun saat musim haji maka busana muslim maupun pakaian ihram pasti laris diberi orang. Untuk melebarkan sayap usahanya, Faiz Yunianti kini memiliki ruang pamer di bebrapa kota Jatim dan Jateng seperti Surabaya, Jember, Solo dan Malang.

Usahanya merupakan kombinasi antara mesin dan menggunakan tangan (handmade-Red), kini ruang pamernya selain di dua tempat di Pasuruan juga di Jember, dan beberapa kota lainnya di Jatim dan daerah lainnya.

Di Sidoarjo, usaha bordir juga berkembang pesat baik yang menggunakan bahan dasar tetoron TC, chiffon, Rayon cotton, benang katun,benang India maupun benang perak dan kain strimin.

Pemasaran bordir dari Sidoarjo cukup besar, baik di dalam luar negeri. Di beberapa kota besar di tanah air mulai dari Medan, Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Cirebon, Bali, Lombok, Ujung Pandang. Juga ke Malang, Situbondo, serta Indonesia timur seperti Ambon, Sorong, Balikpapan, Samarinda dan Nusa Tenggara Timur.

Pemesanan

Untuk pasar luar negeri terutama untuk produk bordir dalam berbagai jenis rok dan blus maupun terusan, banyak diserap pasar Amerika dan Australia juga ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Dubai.

Menurut Hj Hasanah, salah seorang pengrajin di Sidoarjo, untuk pemesanan bordir dari usaha yang ditekuninya, sejak awal sudah dibuat ketentuan pemesanan dari luar negeri harus dibayar tunai. Namun pemesan dari Malaysia dan Arab saudi membayar 50% dari barang yang dipesannya. Sisanya diselesaikan setelah pesanan sudah selesai.

Yang cukup menguntungkan setiap enam bulan sekali eksportir datang secara rutin ke tempat usahanya. Tidak jarang pesanan juga datang melalui faksimil, di antaranya dari Arab.

Yang cukup menarik usaha bordir milik Hj Hasanah ini, karena melibatkan pengrajin kecil di desanya dan diminta untuk bergabung dalam beberapa kelompok. Sebagai ketua kelompoknya ditunjuklah pengepul sekaligus sebagai pengawas produksinya, dan juga bertugas memberi bimbingan dan pelatihan kepada tenaga kerjanya.(Wiharjono-82)

Bang Kodir, Brand Image Bordir Pasuruan

Tahun 2007 Kabupaten Pasuruan meraih piala emas Otonomi Award dari Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP). Kabupaten ini mendapatkan anugerah sebagai Daerah dengan Terobosan Menonjol dalam Pengembangan Ekonomi. Apa saja terobosan yang dilakukan? Berikut laporan wartawan Radar Bromo (Grup Jawa Pos) Moch. Arief Fanani dan Pudji Leksono.
-------------

Bang Kodir bukanlah siapa-siapa. Dia merupakan akronim untuk Bangil Kota Bordir atau nama even tahunan superbazar bagi kerajinan bordir. Konsepnya mempertemukan produsen dan konsumen. Istilah Bang Kodir pertama muncul pada September 2005. Dimotori Pemerintah Kabupaten Pasuruan dan Asosiasi Pengusaha Bordir (Aspendir), Bang Kodir menjadi even terbesar pada tahun itu.


Dipilihnya Bangil sebagai Kota Bordir berawal dari kegelisahan Wakil Bupati Pasuruan Muzammil Syafi’i. Sebab, jumlah perajin bordir di Bangil mencapai puluhan ribu. Produknya tersebar di seluruh Nusantara. Bahkan, ada yang diekspor ke mancanegara. Tetapi, volume produksi yang besar itu tidak menjadikan Bangil dan Pasuruan besar karena bordir. Sebab, Bangil hanya menjadi tempat produksi, tapi tidak mempunyai brand.


Orang justru mengenal bordir dari Tasikmalaya atau Bali. "Padahal, kita tahu Bali tidak mempunyai tenaga ahli bordir yang bagus. Mereka mengambil bordir dari Bangil, lantas dilabeli. Begitu saja," ungkap Muzammil. Dari situ, muncul ide untuk menjadikan bordir sebagai ikon Bangil. "Kalau ke Bangil, jangan lupa beli bordir," ujarnya.



Setelah melalui pembahasan panjang, Pemkab Pasuruan bertekad mengangkat potensi bordir itu. Sebagai pencetus ide, Muzammil segera mengumpulkan perajin bordir di Bangil dan sekitarnya. Ternyata, bordir memang sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi ikon daerah. Ditemui di rumah dinasnya kemarin, Muzammil menjelaskan, waktu itu jumlah perajin mencapai 4.000 orang. Dari situlah muncul ide pembentukan Aspendir. "Waktu saya tanya, ada tiga kendala utama perajin. Desain, manajemen pemasaran, dan permodalan," ungkap pria yang pernah menjabat ketua DPRD Kabupaten Pasuruan itu.



Dari diskusi tersebut disimpulkan bahwa pasar memegang peran sangat penting. "Karena potensi pasar sangat ditentukan promosi, saya mengundang teman-teman Aspendir untuk mengadakan Bang Kodir," katanya. Namun, ide pencanangan Bang Kodir tidak semulus yang dibayangkan. Saat pertama dilontarkan, beberapa orang menolak ide itu. Bahkan, ada yang menganggap ide tersebut hanya menghambur-hamburkan uang. Sebab, pencanangan Bang Kodir membutuhkan dana Rp 240 juta.



Menghadapi penolakan tersebut, Muzammil tidak serta-merta menyerah. Sebagai wakil bupati, dia berusaha meyakinkan manfaat pencanangan Bang Kodir. Bahkan, dia menyatakan akan membiayai sendiri apabila DPRD tidak menyetujui ide tersebut. Akhirnya, ide tersebut diterima DPRD. Untuk memperkuat aspek promosi, kalangan media, seperti Radar Bromo dan JTV, juga dilibatkan.Keyakinan Muzammil terbukti. Pencanangan Bang Kodir berlangsung sukses dan meriah. Sedikitnya 4.000 perajin dan puluhan UKM terlibat. Sejak saat itu, Bangil dikenal sebagai Bang Kodir. Soal asal-usul akronim Bang Kodir, Muzammil menjelaskan bahwa nama itu diperoleh dari Murtaji, seorang tokoh masyarakat di Bangil. "Saya setuju. Lalu, saya sampaikan ke bupati dan langsung dideklarasikan," jelasnya.




Pencanangan Bang Kodir memang terbukti efektif. Selain Kabupaten Pasuruan dikenal sebagai pusat bordir, usaha bordir di Bangil berkembang pesat. Dari 4.000 perajin pada 2005, saat ini jumlahnya lebih dari 10.000 perajin. Mereka terorganisasi dalam 99 usaha kecil dan menengah (UKM). "Dengan adanya even tersebut, bordir Bangil semakin dikenal. Tidak hanya di Jawa Timur, tapi di seluruh Indonesia. Bahkan, menembus ke luar negeri," kata Deny Edwin, ketua Aspendir Kabupaten Pasuruan.



Setelah lebih dari satu tahun dilaksanakan, dampak even tersebut masih terasa.
Jika ada bordir, konsumen langsung teringat nama Bang Kodir. "Saat kita mengadakan pameran, yang diingat orang pasti Bang Kodir," ungkapnya. Saat ini, bordir Bangil menembus pasar dunia. Malaysia dan beberapa negara Timur Tengah menjadi pasar potensial bagi pengusaha bordir di Bangil. Untuk mengatasi masalah permodalan, pemkab menyuntikkan modal Rp 2 miliar melalui Bank Bukopin. Selain itu, pemkab memfasilitasi perbaikan manajemen dan pemasaran. Mengiringi kesuksesan tersebut, Pemerintah Kabupaten Pasuruan akan kembali mengadakan even serupa tahun ini. Namun, kali ini bukan bordir yang akan diangkat. Tapi, mebel di daerah Winongan serta festival mangga dan apel. "Dua even ini akan kami kemas seperti Bang Kodir. Harapannya juga tidak berbeda jauh. Lebih mengenalkan dan memasarkan produk asli Kabupaten Pasuruan," tegas Muzammil.

Bordir Bangil di Antara Pesaing dan Dampak Lumpur

Oleh
Chusnun Hadi


PASURUAN-Lumpur Sidoarjo tidak hanya memukul pelaku UKM (usaha kecil dan menengah) di daerah Sidoarjo, tetapi juga berimbas pada pelaku UKM di Pasuruan. Seperti yang dialami oleh perajin Bordir Bangil, sempat terpuruk karena omzetnya anjlok hingga 70 persen. Untungnya para perajin bisa bangkit lagi meski harus tertatih-tatih. Kami ingin mengembalikan kejayaan Bordir Bangil. Kami harus bangkit lagi kalau ingin tetap bertahan,C kata Hj Faiz Yunianti, pemilik pusat busana Faizah Bordir, Jalan Bader Kalirejo, Bangil, Pasuruan. Kejayaan yang dimaksud oleh Faiz adalah saat awal-awal ditetapkannya Bangil sebagai Kota Bordir pada 11 September 2005 lalu. “Saat itu Bangil benar-benar menjadi pusat perdagangan berbagai pakaian dan aksesori dengan motif bordir. Lebih dari 250 perajin bordir di Bangil dapat menyerap ribuan tenaga kerja,” tambahnya.


Tetapi sejak terjadi semburan lumpur Sidoarjo, yang berlanjut hingga terputusnya jalur tol, omzet para perajin bordir di Bangil menurun drastis. Bahkan beberapa perajin terpaksa menutup usahanya karena produknya tidak laku lagi. “Sebab mayoritas konsumen kami adalah dari Surabaya, baik dipakai sendiri maupun dikirim kembali ke luar pulau,” tambahnya.Tetapi Faiz tidak ingin terus meratapi lesunya bisnis ini. Sebab selama ini UKM sudah terbukti menjadi penyelamat ekonomi. Oleh karena itu, pihaknya terus bertahan hidup dengan melakukan berbagai kegiatan di luar Pasuruan. “Kami harus menjemput bola, karena pada dasarnya di luar Pasuruan banyak orang yang berminat dengan bordir kami,” ungkapnya.Ia merasa bangga karena peran pemerintah sangat besar dalam melakukan recovery para pelaku UKM, khususnya perajin bordir di Bangil. Peran tersebut di antaranya memberikan kesempatan pada perajin bordir Bangil ikut berbagai even pameran di Jakarta. “Selama satu bulan kami pameran di Jakarta dalam even Jakarta Expo, pameran Industri dan Perdagangan yang digelar Depdag, serta pameran khusus UKM korban lumpur Sidoarjo,” paparnya.

Tersaingi Produk China Mengapa Faizah Bordir masih bisa bertahan? Hal itu karena ia memiliki pelanggan di Malaysia, Singapura, dan Uni Emirat Arab. Secara berkala, Faiz harus mengirim produk bordirnya sesuai dengan pesanan. “Volume ekspornya memang tidak terlalu besar, tetapi pesanan mereka rata-rata jenisnya dari bahan sutera, sehingga harganya cukup mahal,” jelas Faiz. “Perkenalan” Faiz dengan pembeli dari luar negeri, karena pada tahun 2003 lalu ia pernah membuka stan pameran di negara-negara tersebut. “Ekspor pakaian bordir ke Singapura dan Malaysia untuk produk butik menangah ke atas. Jumlahnya tidak terlalu banyak, antara 200 hingga 300 potong, tetapi harganya cukup lumayan. Sedangkan untuk ke UEA adalah pakaian dengan jenis menengah ke bawah,” jelasnya.


Sedangkan untuk pasar dalam negeri, produk dari Faizah Bordir sudah menembus hampir seluruh kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, Semarang dan lain-lain. Bahkan dalam benaknya, Faiz berniat akan membuka rumah-rumah busana khusus bordir di kota-kota tersebut. Sayangnya, saat ini produknya mulai tersaingi oleh produk dari China dan Hong Kong. Sebab dari sisi harga produk pakaian bordir dari China dan Hong Kong sangat murah. “Kami sampai heran, mengapa mereka bisa menjual dengan harga yang murah seperti itu. Padahal kalau dihitung dari bahan-bahannya, harga yang dipatok sangat tidak masuk akal,” paparnya. Persaingan itu membuat pasokan Bordir Bangil ke pusat perkulakan Jakarta mulai menurun. Sebelumnya, lanjut Faiz, dirinya merupakan salah satu pemasok utama di pusat perbelanjaan Mangga Dua Jakarta. Ia secara rutin mengirimkan kerudung bordir sebanyak 3.500 kodi dalam waktu dua bulan dan kebaya sebanyak 6.000 potong untuk sekali kirim.
Tetapi saat ini jumlahnya terus menurun, karena pusat perkulakan tersebut juga diserbu produk bordir dari China dan Hong Kong. “Terpaksa kami harus mengurangi jumlah karyawan tetap. Kalau dulu lebih dari 100 orang, kini hanya 75 orang,” tandasnya.


Untuk memperluas pasar, Faizah Bordir juga telah membuka pusat bordir di Jakarta untuk mendekatkan diri dengan kosumen di Jakarta. Pusat bordir yang berdiri di Jalan Benda Raya 35-37, Kemang, Jakarta Selatan itu merupakan cabang dari Bordir Bangil yang diharapkan semakin memperkenalkan Bordir Bangil di Jakarta. Hanya saja, Faizah Bordir masih tetap mempertahankan sekitar 20 subusaha bordir di Bangil. Masing-masing subusaha memiliki 20 orang pekerja. “Kalau ada pesanan yang jumlahnya cukup besar, kami mengirim bahan untuk dikerjakan di subusaha. Bahkan ada subusaha yang kami bantu mesin jahit dan mesin bordir,” paparnya.

Harga Bahan Naik setelah dapat mengatasi satu masalah, muncul masalah lainnya. Saat pasar lesu sebagai dampak lumpur Sidoarjo lambat laun dapat diatasi, muncul persaingan ketat dengan produk China dan Hong Kong. Saat persaingan tersebut bisa ditekan, kini muncul masalah baru, yakni kenaikan harga benang dan kain. “Rasanya masalah selalu datang pada para pelaku UKM seperti kami ini,” terangnya dengan nada lemah. Sebelumnya, ia berharap di tahun 2008 ini usahanya terus meningkat setelah ia berhasil mengatasi berbagai masalah yang mendera. “Pada awal tahun ini, kami langsung dihadapkan pada kenaikan harga bahan, baik benang maupun kain,” ungkapnya.


Kenaikan harga bahan tersebut membuat dirinya akan menaikkan harga produknya di pasaran.
Tetapi risikonya, daya beli masyarakat semakin turun, dan pada akhirnya omzetnya kembali turun. “Kami bingung mengatasinya,” sergahnya. Meskipun demikian, pihaknya tetap berusaha bertahan atas usaha yang telah dirintisnya sejak tahun 1997 lalu itu. Bahkan sikap Pemkab Pasuruan yang terus mengampanyekan Bangil sebagai Kota Bordir akan menjadi bordir produk Bangil semakin dikenal masyarakat. “Kami bersyukur akhirnya Pemerintah Daerah Pasuruan benar-benar menjadikan Bangil sebagai Kota Bordir, kota ini semakin dikenal orang karena bordirnya,” paparnya. Oleh karena itu, Faiz merasa belum lengkap jika di kota ini belum dibangun sentra industri bordir. Melihat dari pengalaman selama ini, gairah pengusaha akan terus meningkat saat mereka berada di sentra industri, seperti sentra industri sepatu di Wedoro, Sidoarjo dan sentra industri tas dan koper di Tanggulangin, Sidoarjo.

STUDI KELAYAKAN PENGEMBANGAN PROGRAM UPAYA KESEHATAN KERJA PADA PENGRAJIN BORDIR Dl BANGIL

By: RACHMAYANI, MEITA DEVI

Studi kelayakan Pengembangan Program Upaya Kesehatan Kerja (UKK) pada pengrajin bordir di Kecamatan Bangil dimaksudkan untuk mempelajari kelayakan Program UKK ditinjau dari peran pengrajin bordir, petugas puskesmas, petugas lintas sektor dan manajer pemilik apabila dikembangkan pada pengrajin bordir di Kecamatan Bangil. Pengrajin bordir seperti halnya pekerja sektor informal lainnya masih belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai di bidang kesehatan kerjanya. Sementara di puskesmas program UKK sendiri hanya merupakan program inovatif yang tidak wajib dilaksanakan oleh puskesmas.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bangil mulai tanggal 1 Maret 2002 sampai dengan 30 Juni 2002. Waktu pengumpulan data selama 1 (satu) bulan mulai tanggal 1 - 30 Mei 2002 dengan cara observasional yang dilakukan secara cross sectional, baik dari aspek pengrajin bordir, petugas puskesmas, lintas sektor dan manajer pemilik. Penentuan sampel, pengrajin bordir dan manajer pemilik menggunakan metode simple random sampling, kemudian dari masing-masing desa diambil sampel secara proporsional; sedangkan untuk sampel petugas puskesmas dan petugas lintas sektor diambil total. Responden dalam penelitian ini dibagi menjadi empat yaitu dari pengrajin bordir, petugas puskesmas, petugas lintas sektor dan manajer pemilik. Jumlah responden pengrajin bordir sebesar 126 orang; manajer pemilik sebesar 17 orang; petugas puskesmas besamya 14 orang yaitu yang berkaitan langsung dengan program UKK (Kepala Puskesmas sub koordinator pemberdayaan kesehatan puskesmas, petugas sanitarian puskesmas dan bidan di desa/pembina kelurahan); sedangkan petugas lintas sektor besarnya 36 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program UKK pada pengrajin bordir sangat layak dikembangkan di Kecamatan Bangil. Ditinjau dari peran serta pengrajin yang meliputi 92,9% sangat bersedia menjadi kader UKK, 100% sangat bersedia membentuk pos UKK, 90,5% sangat bersedia mengembangkan pos UKK. Peran serta petugas puskesmas juga baik karena 100% sangat bersedia melakukan pembinaan dan pelatihan pada kader UKK, 100% sangat bersedia melakukan pengembangan pos UKK. Peran serta petugas lintas sektor amat menonjol karena 94,4% bersedia membantu pelaksanaan pengumpulan data dasar pengrajin, 91,7% bersedia mengenal, mengumpulkan dan mengkaji masalah kesehatan, 91,7% bersedia membantu penentuan prioritas masalah kesehatan, 97,2% bersedia mengembangkan program UKK. Demikian pula dukungan manajer pemilik; 100% bersedia menyiapkan ruang untuk pos UKK, mengijinkan tenaga kerjanya mengikuti pelatihan kader dan menjadi kader UKK, mengijinkan pelaksanaan pelayanan kesehatan kerja di tempat kerja, melakukan kerjasama lintas sektor; 100% sangat bersedia melakukan pengembangan program UKK. .

Melihat peran serta pengrajin bordir dan dukungan petugas puskesmas, petugas lintas sektor serta manajer pemilik yang begitu baik; maka program UKK pada pengrajin bordir merupakan satu kebutuhan untuk segera dikembangkan di Kecamatan Bangil dan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah disepakati.

Translation:

A feasibility study of the improvement of occupational health effort embroidery craftman in Bangil district was aimed at studying the appropriatenes of UKK program, when applied, viewed from the participation of the embroidery craftman, public health centres' officers, cross-sectional officers, and owner managers.

The embroidery craftman, as other informal-field craftrnan, hitherto have not been provided with appropriate health service in this work. In the meantime, the UKK program in the local clinics is only an innovative program which is not obliged to apply.

This research was carried out in Bangil districs from March 1 to June 30, 2002. The data collecting lasted for 1 month, from May 1 to May 30, 2002, by using observational technigue conducted cross-sectoral, either for the embroidery craftman, local clinics' officers, cross-sectional officers, or owner managers. The population were four divisions of respondents namely the embroidery craftman, public health centre officers,. cross-sectoral officers, and owner manajers. The sample of embroidery craftman and owner managers, was first taken by using Simple Random

Sampling then from each sub-districs the sample was determined proportionally. While the sample of local clinics' officers and cross-sectoral officers was taken totally.

The conclusion of the study showed that the UKK program among embroidery craftman is necessary to develop did in Bangil districs. In term of the respondents' participation, 92.9 % respondents do not mind being UKK cadres, 100% respondents were enthusiastic of establishing UKK post, 90.5% respondents were keen to develop UKK post. The participation of public health centres' officers is also excellent. 100% respondents were keen to offer training and edification for the UKK cadres, 100% respondents did not mind developing UKK post.

The participation of the cross-sectional officers was also good. 94.4% respondents would like to carry out basic data collection of the embroidery craftman, 91.7% respondents did not mind knowing, collecting, and analyzing the health problems, 91.7% respondents would like to help to determine the priority of health problems, and 97.2% respondents were eager to develop the UKK program. The UKK program was also well-supported by the managers; 100% respondents did not mind providing space for UKK post, permitting their craftman to join the training and even to be UKK cadres, permitting the realization of health service in the workplace, and performing cooperation cross-sectionally; 100% respondents would like to develop UKK program.

Since the participation of the embroidery craftman, public health centres' officers and the support from cross-sectional craftman and managers were good, the UKK program is necessary to develop in Bangil district, in accordance with the approved plan.

Bangil Gelar Peragaan Busana Satu Kilometer

Peragaan busana sepanjang satu kilometer oleh 400 model menandai pencanangan "Bangil Kota Bordir". Peragaan busana tersebut tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI). Jaya Suprana sendiri datang ke Bangil untuk menyaksikan peragaan busana yang unik dan mungkin terpanjang ini," kata Camat Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jatim, H Aboe Naser kepada Antara di Pasuruan, Jumat.

Ia menjelaskan, ratusan model itu berjalan dari depan kantor Pegadaian hingga alun-alun Bangil. Mereka menggunakan pakaian serba bordir dan membawa barang dari seluruh produk bordir, seperti sprei atau taplak meja dan sebagainya. Selain adicatatkan di MURI, kegiatan yang dilaksanakan Minggu, 11 September dengan pemandu artis Krisna Murti itu juga dihadiri rombongan dari Kerajaan Kelantan, Malaysia, sebanyak 90 orang.

"Kunjungan rombongan Sultan dari Kerajaan Kelantan ini juga merupakan kehormatan bagi kami sekaligus ajang promosi potensi usaha bordir dari Bangil. Semoga usaha bordir dari Bangil ini makin dikenal," katanya. Ia mengemukakan, pencanangan Bangil sebagai kota bordir itu berdasarkan berbagai pertimbangan dari masyarakat dan pejabat di Kabupaten Pasuruan, yakni tingginya potensi ekonomi dari usaha tersebut.

"Kalau tempat lain punya ikon sendiri yang bisa dijual, maka Bangil juga punya, yakni bordir. Kabupaten Sidoarjo, misalnya, memiliki usaha kerajinan kulit di kawasan Tanggulangin, demikian pula Wedoro juga di Sidoarjo dengan usaha pembuatan sepatu," katanya. Hasil bordir dari Bangil, katanya, bukan hanya terkenal di tingkat regional, tapi juga nasional, bahkan di dunia. Bordir-bordir itu banyak diekspor ke Australia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan negara-negara Timur Tengah.

Menurutnya, meskipun nilai dan frekuensinya selalu naik turun setiap bulannya, namun ekspor itu hampir dipastikan tetap rutin setiap bulannya dan selalu ada pesanan yang diangkut dengan menggunakan kontainer. Dikatakannya, usaha bordir di Bangil telah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Saat ini di Bangil ada sebanyak 187 pengusaha besar dan kecil yang menggeluti bordir dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 1.274 orang.

Menurut dia, kerajinan bordir di Bangil merupakan usaha turun temurun sejak tahun 1950-an dengan pusat usaha di Desa Kersikan dan Kalirejo. Namun kini usaha itu sudah menyebar ke berbagai desa lainnya."Ada tiga bentuk dari kerajinan bordir ini, yakni dengan manual, mesin tenaga listrik dan komputer. Kerajinan manual ini paling mahal karena bersifat alami," kata Aboe.